Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari segi isi, penulisan maupun kata-kata yang digunakan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan lebih lanjut kedepan, akan penulis terima dengan senang hati. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Makalah ini berjudul : “Politik identitas sebagai keniscayaan multicultural (strategi politik ummat Islam jangka panjang)”. Penulis mencoba menjelaskan suasana politik ummat Islam yang ada di Indonesia, tentang politik identitas dan Multikultural serta bagaimana mencoba menyusun strategi politik jangka panjang. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan Leadership Advanced Training (LAT) Pelajar Islam Indonesia (PII) yang dilaksanakan pada tanggal 20 Februari- 02 Maret 2011 di Jakarta.
Akhirnya, tiada gading yang tak retak, meskipun dalam penyusunan makalah ini penulis telah mencurahkan semua kemampuan, namun penulis sangat menyadari bahwa hasil penyusunan makalah ini jauh dari sempurna dikarenakan keterbatasan data dan referensi maupun kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran serta kritik yang membangun dari berbagai pihak.
Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat, Amin.
Ambon, 14 Februari 2011
Penulis
La Faisal Kaimudin
(STRATEGI POLITIK UMMAT ISLAM JANGKA PANJANG)
A. Pendahuluan
Munculnya partai-partai Islam belakangan ini telah menimbulkan perdebatan tersendiri kalau bukan masalah kontroversi.Dalam pandangan sementara kalangan, fenomena itu dinilai sebagai perwujudan dari hadirnya kembali politik Islam, atau yang secara salah kaprah diistilahkan sebagai "repolitisasi Islam".Penilaian yang pertama bernada positif, karena seperti agama-agama lain, Islam memang tidak bisa dipisahkan dari politik. Penilaian kedua, jika istilah itu dipahami secara benar, adalah negatif. Istilah "politisasi" (terhadap apa saja) selalu merupakan bagian dari rekayasa yang bersifat pejorative atau manipulatif. Bisa dibayangkan apa jadinya jika hal tersebut dikenakan pada sesuatu yang mempunyai sifat ilahiyah (devine) seperti agama Islam.
Tidak diketahui secara persis apa yang dimaksud oleh sementara pihak yang melihat maraknya kehidupan politik Islam dewasa ini sebagai suatu fenomena yang dapat diberi label repolitisasi Islam. Meskipun demikian, kalau menilik indikator utama yang digunakan sebagai dasar penilaian itu adalah munculnya sejumlah partai politik yang menggunakan simbol dan asas Islam atau yang mempunyai pendukung utama komunitas Islam, maka tidak terlalu salah untuk mengatakan bahwa yang dimaksud adalah fenomena munculnya kembali kekuatan politik Islam. Hal yang demikian itu di dalam perjalanannya selalu terbuka kemungkinan untuk "memolitikkan" bagian-bagian yang menjadi dasar idiologi partai-partai tersebut.
Makna Politik Islam
Politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia. Politik Islam ialah aktivitas politik sebagian Ummat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok. Pendukung perpolitikan ini belum tentu seluruh Ummat Islam (baca: pemeluk agama Islam). Karena itu, mereka dalam kategori politik dapat disebut sebagai kelompok politik Islam, juga menekankan simbolisme keagamaan dalam berpolitik, seperti menggunakan perlambang Islam, dan istilah-istilah keislaman dalam peraturan dasar organisasi, khittah perjuangan, serta wacana politik.
Hakikat Politik Islam
Politik Islam secara substansial merupakan penghadapan Islam dengan kekuasan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku (political behavior) serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam.Sikap perilaku serta budaya politik yang memakai kata sifat Islam, menurut Dr. Taufik Abdullah, bermula dari suatu keprihatinan moral dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam.
Dilema Politik Islam
Dalam penghadapan dengan kekuasaan dan negara, politik Islam di Indonesia sering berada pada posisi delematis.Dilema yang dihadapi menyangkut tarik-menarik antara tuntutan untuk aktualisasi diri secara deferminan sebagai kelompok mayoritas dan kenyataan kehidupan politik yang tidak selalu kondusif bagi aktualisasi diri tersebut.Sebagai akibatnya, politik Islam dihadapkan pada beberapa pilihan strategis yang masing-masing mengandung konsekuensi dalam dirinya.
Pertama, strategi akomodatif justifikatif terhadap kekuasaan negara yang sering tidak mencerminkan idealisme Islam dengan konsekuensi menerima penghujatan dari kalangan "garis keras" Ummat Islam.
Kedua, strategi isolatif-oposisional, yaitu menolak dan memisahkan diri dari kekuasaan negara untuk membangun kekuatn sendiri, dengan konsekuensi kehilangan faktor pendukungnya, yaitu kekuatan negara itu sendiri, yang kemudian dikuasai dan dimanfaatkan oleh pihak lain.
Ketiga, strategi integratif-kritis, yaitu mengintegrasikan diri ke dalam kekuasaan negara, tetapi tetap kritis terhadap penyelewengan kekuasaan dalam suatu perjuangan dari dalam.Namun, strategi ini sering berhadapan dengan hegemoni negara itu sendiri, sehingga efektifitas perjuangannya dipertanyakan.
Salah satu isu politik yang sering menempatkan kelompok Islam pada posisi dilematis yang sering dihadapi politik Islam adalah pemosisian Islam vis a vis negara yang berdasarkan Pancasila. Walaupun Ummat Islam mempunyai andil yang sangat besar dalam menegakkan negara melalui perjuangan yang panjang dalam melawan penjajahan dan menegakkan kemerdekaan, namun untuk mengisi negara merdeka kelompok Islam tidak selalu pada posisi yang menentukan. Pada awal kemerdekaan, kelompok Islam yang mempunyai andil yang sangat besar dalam mengganyang PKI dan menegakkan Orde Baru tidak terwakili secara proporsional pada BPUPKI atau PPKI dan karenanya tidak memperoleh kesempatan untuk ikut menyelenggarakan roda pemerinthan. Mereka bagaikan "orang yang mendorong mobil mogok, setelah mobil jalan mereka ditinggal di belakang".
Sekarang pada era reformasi, gejala demikian mungkin terulang kembali.Peran kelompok Islam, baik tokoh Islam maupun mahasiswa Islam dalam mendorong gerakan reformasi sangat besar.Namun, pada perkembangan selanjutnya, gerakan reformasi tidak selalu berada dalam pengendalian kelompok Islam.
Situasi dilematis politik Islam sering diperburuk oleh ketidakmampuan untuk keluar dari dilema itu sendiri. Hal ini antara lain disebabkan oleh kurang adanya pemaduan antara semangat politik dan pengetahuan politik. Semangat politik yang tinggi yang tidak disertai oleh pengetahuan yang luas dan mendalam tentang perkembangan politik sering mengakibatkan terabainya penguatan taktik dan strategi politik.Dua hal yang sangat diperlukan dalam politik praktis dan permainan politik.
Dilema politik Islam berpangkal pada masih adanya problem mendasar dalam kehidupan politik Ummat Islam. Problema tersebut ada yang bersifat teologis, seperti menyangkut hubungan agama dan politik dalam Islam. Tetapi, ada yang bersifat murni politik, yaitu menyangkut strategi perjuangan politik itu sendiri dalam latar kehidupan politik Indonesia yang kompleks dengan kelompok-kelompok kepentingan politik majemuk.
Problema Politik Islam
Selain problem yang berasal dari dikotomi santri abangan di kalangan Ummat Islam (dikotomi ini adalah konsekuensi logis dari proses islamisasi yang tidak merata di berbagai daerah nusantara serta perbedaan corak tantangan kultural yang dihadapi), politik Islam juga menghadapi problema yang berkembang dari adanya kemajemukan di kalangan kelompok Islam itu sendiri.Adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa kelompok politik Islam bukanlah merupakan suatu kelompok kepentingan tunggal.Hal ini ditandai oleh banyaknya partai-partai yang bermunculan di kalangan kelompok Islam, baik yang berdasarkan diri pada idiologi dan simbol keislaman maupun yang berbasis dukungan Ummat Islam.
Fenomena maraknya partai Islam dan partai berbasis dukungan Ummat Islam merupakan refleksi dari kemajemukan Ummat Islam dan keragaman kepentingan kelompok Islam. Kelahiran partai-partai tersebut merupakan buah eforia politik yang tidak terelakkan dari proses reformasi. Proses reformasi yang terjadi memang memberikan angin segar kebebasan bagi warga negara untuk berserikat dan berkelompok yang selama 30 tahun telah terkungkung oleh kekuasaan absolut sentralistik.
Pluralisme politik Islam merupakan refleksi dari pluralisme masyarakat Islam. Sedangkan pluralisme masyarakat Islam itu sendiri merupakan kensekuensi logis dari proses islamisasi di sebuah negara kepulauan, yang dari satu tempat ke tempat yang lain berbeda intensitasnya. Dalam konteks hubungan antardaerah yang tidak mudah di masa lampau, maka terbuka kemungkinan bagi berkembang kelompok atau organisasi Islam yang mempunyai ciri-ciri dan jati diri masing-masing. Kelompok yang kemudian mengkristal menjadi berbagai organisasi ini, selain mempunyai titik temu pandangan, juga mempunyai dimensi kultural tertentu yang membedakan dengan kelompok Ummat Islam lain. Pada tingkat tertentu, komitmen kultural ini telah mengembangkan rasa solidaritas kelompok di kalangan Ummat Islam yang mengalahkan rasa solidaritas keagamaan mereka.
Dimensi kultural pada berbagai kelompok Islam mengakibatkan mereka sulit bersatu dalam kehidupan politik.Oleh karena itu, penggabungan partai-partai Islam ke dalam satu wadah tunggal nyaris menjadi utopia.Eksperimen pada masa Orde Lama melalui Masyumi, umpamanya, mengalami kegagalan dengan keluarnya NU dari PSII. Begitu juga eksperimen pada masa Orde Baru melalui fusi beberapa partai Islam: belum sepenuhnya berhasil mengkristalkan kepentingan unsur-unsur yang bersatu.
Politik Islam di Indonesia secara umum belum berhasil mencapai efektifitas politik. Salah satu pangkal efektifitas politik menurut Allan A. Samson adalah kepemimpinan. Kepemimpinan partai politik belum mampu memfungsikan partai sebagai medium artikulasi kepentingan politik Ummat Islam. Menurut Allan Samson, lebih lanjut, terdapat tiga faktor yang menyebabkan ketidakefektifan politik tadi, dan hal lain dapat juga disebut sebagai problema politik Islam.
Pertama, adanya overestimasi. Banyak pimpinan partai Islam tentang kekuatan yang dimilikinya atau aflikasi politik dari apa yang disebut dengan mitos kemayoritasan. Kedua, bersifat eksternal, yaitu adanya usaha pengrusakan yang disengaja oleh kekuatan politik luar.Ketiga, adanya perbedaan pandangan antara pimpinan partai tentang hubungan keyakinan keagamaan dan aksi politik.
Di atas semua itu, problem mendasar poitik Islam adalah kesulitan untuk mewujudkan persatuan, baik dalam skala antar-partai-partai Islam maupun dalam skala intra-satu partai Islam.Partai Islam rentan terhadap konflik, dan konflik partai rentan terhadap rekayasa internal.
Berbagai problem tersebut harus mampu diatasi oleh partai-partai Islam pada era reformasi dewasa ini. Adanya penggabungan secara menyeluruh mungkin tidak realistis, kecuali mungkin di antara partai-partai Islam yang berasal dari rumpun yang sama. Alternatif lain yang tersedia adalah koalisi, sehingga hanya ada beberapa partai Islam saja yang ikut dalam pemilu.
Perubahan Politik Islam
Berbicara tentang perkembangan situasi politik dalam negeri menurut perspektif Islam, kita mengenal setidaknya dua periode yang secara signifikan memberikan pengaruh yang berbeda, yakni periode pra dan pasca 90-an.
Yang pertama adalah periode beku yang ditandai dengan ketegangan hubungan antara Ummat Islam dengan pemerintah, sedangkan yang kedua adalah pencairan dari yang pertama, yakni ketika pemerintah beruabah haluan dalam menatap Ummat Islam dalam setting pembangunan nasional.
Situasi pra 90-an diakui sarat dengan isu politik yang mempertentangkan Ummat Islam dengan pemerintah. Peristiwa Tanjung Priok, Aceh, Lampung, Komando Jihad, peledakan Borobudur, dan yang lainnya telah memanaskan situasi. Peristiwa-peristiwa tersebut, sejak Orde Baru berdiri, mengukuhkan citra pertentangan antara Ummat Islam dengan pemerintah.Situasi ini pada gilirannya menjadikan organisasi Islam tidak berani "tampil" secara lantang menyuarakan aspirasinya.
Tetapi, situasi tersebut berangsur berubah pada pasca 90-an. Angin segar seakan bertiup sejuk ke tubuh Ummat Islam. ICMI terbentuk, Soeharto naik haji, jilbab dilegalisasi di sekolah menengah, lolosnya peradilan agama dan pendidikan nasional yang dinilai menguntungkan, pencabutan SDSB, pendirian BMI, serta suasana keberislaman kalangan birokrasi yang semakin kental, dan lain-lain yang menandai era baru: politik akomodasi, Ummat Islam yang selama ini dianggap sebagai rival kini tidak lagi. Tumbuh di kalangan pemerintah dan juga ABRI (pada waktu itu), bahwa pembangunan Indonesia tidak akan berhasil tanpa menyertakan Ummat Islam yang mayoritas, Ummat Islam harus dianggap sebagai mitra.
Layaknya bola salju, era akomodasi ini bergulir deras dan cenderung besar, efeknya terasa, kini bukan tabu lagi Ummat Islam berbicara tentang aspirasi Islam. Di kalangan pemerintah juga tampak adanya upaya untuk "menyinggung" perasaan Ummat Islam.Demikian terus dalam beberapa tahun terakhir, proses "islamisasi" seakan berjalan lancar tanpa halangan.
Ada dua teori guna meramalkan masa depan bola salju tadi. Pertama, bahwa kelak bola salju itu makin besar.Artinya, kesadaran keberislaman makin menyebar dan marak menyelimuti semua kalangan.Kedua, adalah antitesis yang pertama. Bola salju tadi memang membesar, tetapi hanya sesaat kemudian pecah berkeping-keping akibat terlalu kencangnya meluncur atau lemahnya ikatan unsur-unsur pembentuk bole tersebut. Sebagai kemungkinan alternatif ini bisa terjadi. Yakni, bila Ummat Islam terlalu kencang meluncurkannya, sementara ikatan di tubuh Ummat dan situasi belum cukup kuat, atau mungkin juga latar belakang ada orang lain yang sengaja memukul hancur. Bila ini terjadi, kita tidak bisa membayangkan seperti apa jadinya, dan butuh beberapa waktu lagi untuk mendapatkan keadaan serupa, dan di era reformasi sampai saat ini Ummat Islam dalam berpolitik sudah terpecah-pecah, itu suatu kenyataan riil yang kita lihat.
Dalam konteks Islam, perkembangan munculnya partai-partai Islam yang berada di atas angka 50-an--meskipun kemudian melalui proses verifikasi, hanya 48 partai yang dinilai layak mengikuti pemilu--telah melahirkan penilaian tersendiri. Yang paling umum adalah pandangan mengenai munculnya kembali kekuatan politik Islam.Orang pun kemudian mengingat-ingatnya dengan istilah "repolitisasi Islam", sesuatu yang bisa menimbulkan konotasi tertentu, mengingat pengalaman Islam dalam sejarah politik Indonesia.Padahal, kita sebenarnya boleh menanyakan apakah benar Islam sejatinya pernah berhenti berpolitik? Walaupun dengan itu, pertanyaan tersebut bukan untuk mengisyaratkan bahwa Islam itu adalah agama politik.
Meskipun demikian satu hal yang harus diingat bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam.Langsung atau tidak langsung, yang demikian itu mempunyai implikasi politik. Dengan kata lain, kekuatan politik apa pun, lebih-lebih partai politik, akan sangat memperhitungkan realitas demografis seperti itu. Artinya, massa Islam bakal diperebutkan oleh kekuatan-kekuatan politik guna mencari dukungan.
Bagaikan "gadis" yang akan selalu diperebutkan, bagaimana seharusnya Islam bersikap di tengah polarisasi politik yang tajam ini? Jelas, ini bukan pertanyaan yang mudah dijawab. Seandainya tersedia jawaban pun ia bukan suatu yang dapat diperebutkan. Artinya, akan tersedia banyak jawaban. Dan semua itu akan sangat dipengaruhi dan dibentuk oleh preferensi politik yang bersangkutan.
Dalam situasi seperti ini, ada baiknya kita kembali kepada makna beragama. Ada apa sebenarnya fungsi Islam dalam kehidupan. Seperti telah sering dikemukakan, agama dapat dilihat sebagai instrumen ilahiyah untuk "memahami" dunia. Dibandingkan dengana agama-agama lain, Islam paling mudah menerima premis ini. Salah satu alasannya terletak pada sifat Islam yang omnipresence. Ini merupakan suatu pandangan bahwa "di mana-mana" kehadiran Islam hendaknya dijadikan panduan moral yang benar bagi tindakan tingkah laku manusia.
Ada memang yang mengartikan pandangan seperti ini dalam konteks bahwa Islam merupakan suatu totalitas."Apa saja" ada dalam Islam.Seperti firman Allah dalam Al-Qur'an yang artinya, "Tidak kami tinggal masalah sedikit pun dalam Al-Qur'an."Lebih dari itu, Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial-ekonomi dan politik.Terutama karena itu, ada yang berpendapat bahwa Islam itu sebenarnya mencakup negara--sesuatu yang kemudian dirumuskan dalam jargon "innal Islam dinun wa dawlah".
B. Politik Identitas Dan Multicultural
Kebanyakan literatur, baik politik maupun sosiologi, melakukan kategorisasi identitas ke dalam dunia kategori utama, yakni: identitas sosial (kelas, ras, etnis, gender, dan seksualitas) dan identitas politik (nasionalitas dan kewarganegaraan—citizenship). Identitas sosial menentukan posisi subjek di dalam relasi atau interaksi sosialnya, sedangkan identitas politik menentukan posisi subjek di dalam suatu komunitas melalui suatu rasa kepemilikan (sense of belonging) dan sekaligus menandai posisi subjek yang lain di dalam suatu pembedaan (sense of otherness). Dikarenakan identitas juga menyakut apa-apa saja yang membuat sekelompok orang menjadi berbeda dengan yang lainnya, maka konstruksi identitas berkaitan erat dengan konstruksi mengenai “perbedaan” (difference). Identitas politik (political identity) secara konseptual berbeda dengan “politik identitas” (politics of identity); identitas politik merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam ikatan suatu komunitas politik, sedangkan pengertian politik identitas mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumberdaya dan sarana politik.
Politik Islam itu sebetulnya hanyalah satu dari percabangan politik identitas. Syarat keanggotaannya cukup sederhana : harus muslim; sementara eksklusifitas ketokohannya sendiri lebih ditentukan sama kadar kearaban si tokoh. Model politik Islam yang keasyikan sama eksklusifitas serta keunikan identitas-identitas ke-Islam-annya. Keduanya itu sama- sama primordial, mengeksklusifkan diri cuman di hal-hal yang sama sekali terbawa begitu saja dari lahir; kayak agama ataupun suku. Tidak ada orang yang dari lahir bisa memilih jadi
Jawa atau cina, dan tidak ada juga orang yang bisa lahir memilih jadi muslim atau non muslim. Tapi justru primordialisme yang begituan itulah yang menjamur terus di Indonesia. Idea itu baiknya dikasih nama, dan dibaptis jadi idea tentang 'politik identitas'.
Jawa atau cina, dan tidak ada juga orang yang bisa lahir memilih jadi muslim atau non muslim. Tapi justru primordialisme yang begituan itulah yang menjamur terus di Indonesia. Idea itu baiknya dikasih nama, dan dibaptis jadi idea tentang 'politik identitas'.
Perdefinisi 'politik identitas' bisa dipersempit menjadi: 'pandangan serta gerakan politik yang keanggotaannya terbatas secara eksklusif berdasarkan (salah satu atau sekaligus keduanya) unsur ini suku atau agama, yang tujuannya pun hanya untuk meningkatkan kesejahteraan
anggotanya secara eksklusif, dan pada gantinya mengorbankan orang lain yang tersingkir hanya karena mereka tidak memiliki atribut-atribut primordial bawaan dari lahir'.
anggotanya secara eksklusif, dan pada gantinya mengorbankan orang lain yang tersingkir hanya karena mereka tidak memiliki atribut-atribut primordial bawaan dari lahir'.
Kebangkitan Politik Identitas
Kekerasan ‘Komunitas’ Agama di Indonesia
Sebagai bagian dari fenomen global, di Indonesia, politik identitas terasasemakin terang benderang terutama sejak kejatuhan rezim Soeharto pada bulanMei 1998.Setidaknya, bangkitnya kembali politics of identity ini terlihat darimunculnya dua gejala politik utama, pertama, terjadinya kerusuhan antar etnis dibeberapa daerah seperti Kalimantan Barat, Maluku, Papua dan Kupang.Kedua,terjadinya tindak kekerasan dengan menggunakan sentimen-sentimen agama,seperti yang terjadi pada peristiwa Ketapang, Mataram, Kupang, serta Maluku.
Ada beberapa bentuk kekerasan politik agama yang terjadi di Indonesia.Pertama, kekerasan fisik seperti pengruskan, penutupan tempat ibadah, sepertigereja dan Mesjid maupun tindakan kekerasan fisik lainnya yang menyebabkanobyek kekerasan tersebut menjadi terluka, trauma maupun terbunuh.Bentukkekerasan yang kedua adalah kekerasan simbolik.Kekerasan simbolik ini dapatberupa kekerasan simiotik seperti berbentuk tulisan-tulisan yang bernadamelecehkan sesuatu agama.
Pelaku tindakan kekerasan politik agama secara potensial bisa berasal darisetiap kelompok agama di Indonesia.Namun, belajar dari kasus-kasus yangmuncul di Ketapang, Maluku, Poso, Mataram serta Kupang maka bisa ditemukansebuah kecenderungan bahwasanya sebagian besar kekerasan politik agamayang timbul akibat konflik yang terjadi antara komunitas Islam dan komunitasKristen. Di Maluku, misalnya, komunitas Islam dan Kristen teridentifikasi melaluiikat kepala dan identitas nama kelompok yang bertikai antara kelompok merah(Kristen/Obet) dan kelompok putih (Islam/Acang).
Dalam perspektif historis terlihat bahwa kekerasan politik agama merupakan fenomena khas Orde Baru. Ini terlihat dari data Thomas Santoso (2000) yang memperlihatkan bahwa pada masa Orde Lama hampir tidak ada kerusuhan yang berlatar belakang agama seperti pengruskan gereja. Pada kurun waktu 1945-1966, hanya terdapat dua gereja yang dirusak, itupun terjadi di daerah-daerahyang mengalami gejolak politik dan keamanan bertalian dengan gerakan Darul Islam.
Mengapa Tindak Kekerasan Politik Agama Terjadi ?
Salah satu eksplanasi yang menarik diberikan oleh pendekatan psikologis, yangberasumsi bahwa semua fenomena politik, termasuk tindak kekerasan politikagama, bermula dari pikiran manusia.Berdasarkan asumsi tersebut upayamenemukan penyebab dasar kekerasan politik dipusatkan pada faktor psikologisyaitu perasaan dan kesadaran orang mengenai kekecewaan.Secara ringkas,argumennya adalah bahwa kekerasan politik pada ras komunitas itu terjadikarena perasaan frustasi yang mendalam dan meluas di kalangan masyarakat.
Terutama dalam wujud relative deprivation, yaitu ketidaksesuaian antara value expectation masyarakat (yaitu harapan akan barang-barang atau kondisi hidup yang diyakini sebagai hak) dengan value capability mereka ( yaitu barang-barang atau kondisi yang mungkin akan mereka peroleh atau kemampuan sistem untuk memungkinkan orang memperoleh barang-barang dan kondisi yang mereka inginkan). Kondisi deprivasi itulah yang menimbulkan frustasi (Gurr:1970). Jika intensitas kekecewaan semakin tinggi dan menyentuh berbagai lapisan, termasuk kaum elite, maka kekerasan politik yang muncul akan semakin meluas dan dalam bentuk yang canggih. Dengan kata lain kekecewaan masyarakat terhadap deprivasi dan perlakuan yang tidak adil merupakan motif utama tindakan kekerasan politik seperti kerusuhan berdasarkan agama.
Namun timbul pertanyaan, Apakah kerusuhan yang timbul di Ketapang, Maluku dan Kupang hanya sekedar cerminan kekecewaan material? Apakah tidak ada persoalan yang bersifat non material ?Jawaban atas pertanyaan ini bisa ditemukan pada teorisasi tentang “Religious-nationalism” yang para pendukung terbagi dua aliran. Para teorisasi Religious nationalism yang beraliran Primordialist mengajukan argumen bahwa banyak gerakan politik berbasiskan agama muncul sebagai manifestasi dari tradisi kultural yang berdasarkan pada perasaan identitas primordial keagamaan. Dalam tradisiteoritik ini, motivasi utama tindakan politik mereka adalah memelihara identitas kultural itu, seperti ungkapan kita dan mereka, kemurnian ajaran agama, bahaya misionaris atau dakwah dan sebagainya. Sebaliknya, para teorisi religious –nationalism yang beraliran situasionalist-instrumentalist menafsirkan gerakan komunal agama itu sebagai respon terhadap pilih kasih serta ancaman terhadap eksistensinya. Jadi, dalam kerangka pemikiran kaum instrumentalist ini, isu agama merupakan sesuatu yang bisa dikondisikan, oleh kelompok-kelompok komunal maupun elitenya. Dengan demikian, mereka berpolitik dengan menggunakan simbol-simbol agama dengan tujuan untuk memberikan tanggapan terhadap situasi dan relasi yang tidak adil dari aktor lain, baik Negara maupun kelompok komunal lainnya. Penggunaan simbol-simbol agama itu didasarkan pada alasan praktis, yaitu sarana efektif untuk menimbulkan dukungan emosional.
Mempertimbangkan Politik Multikultural
Membayangkan negara seperti ini dengan mudah pandangan kita diarahkan kepada arah panah sejarah yang linear, tahapan-tahapan yang berpuncak kepada satu moment ideal. Padahal jika kita telisik ulang sejarah kelahiran dan dinamika internal nation state di beberapa tempat tidak menjurus kepada sejarah universal, tidak mengikuti alur evolusi linear sebagaimana bayangan Gellner di atas.Whose Imagined Community? Pertanyaan ini menggugah beberapa orang untuk melihat kembali hubungan-hubungan antara interioritas di dalam nation state dengan komponen-komponen lain (budaya, etnis, ras) yang kelak pada ujungnya terlindas oleh exclusionary politics (politik peminggiran) atas nama kemajuan dan pembangunan.
Imajinasi orde baru misalnya dengan menyatakan diri sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah pada akhirnya menggerus kebudayaan yang dinilai tidak seirama dengan gelegak “pembangunan” dan “kemajuan”. Ide kemajuan dan pembangunan ini ternyata sarat dengan nilai-nilai.Nilai yang dijadikan kacamata dalam melihat, memilih, dan menyeleksi kebudayaan yang hadir di masyarakat. “Desa yang tertinggal” harus dimajukan, “masyarakat yang terbelakang” harus dididik, begitu seterusnya.
Di Australia misalnya sebelum diterapkannya kebijakan multikultural tahun 1973 terkesan mengidentifikasi The Real Australian sebagai The White Australian. “Australians saw themselves, and were seen by others as part of group of new, transplanted, predominantly, Anglo-Saxon emigrant societies” (Masyarakat Australia melihat diri mereka sendiri, dan dilihat oleh masyarakat lain, sebagai bagian dari komunitas baru yang umumnya adalah hasil transplantasi masyarakat emigran Anglo-Saxon). Begitu kata R. White. White adalah salah satu dari beberapa orang yang mulai merasakan ekstremisme politik liberal. Ideologi liberal yang menonjolkan prinsip individualisme ternyata menujuruskan ideologi berpihak kepada ras tertentu. Gagasan individualisme liberal juga secara epistemologis memiliki beberapa kelemahan, terutama cara bagaimana melihat kehidupan manusia. Liberalisme sama sekali menyesampingkan arti penting kebudayaan dalam sudut pandang antropolog, dengan memperlakukannya semata sebagai masalah privat.
Paska perang dunia II, gelombang migrasi dari satu negara ke negara lain seperti jamur di musim hujan. Disamping masalah-masalah ekonomi dan keamanan, sebuah negara yang kebanjiran kaum migran ini tidak mampu menjawab soal “keragaman identitas” yang mulai menyeruak sebagai persoalan publik. Para migran itu sebagian tidak dapat berasimilasi dengan sistem budaya baru, mereka membangun kantong-kantong demi memenuhi hasrat sesama ikatan budaya. Tuntutan self determination oleh kaum migran supaya menjadi politik dalam negeri. (penentuan diri) yang sebelumnya selalu disuarakan negara Barat untuk kebijakan luar negeri digemakan kembali
Di Indonesia, persoalan transmigrasi yang mengangkut sejumlah besar orang-orang Jawa, Madura dan Bali ke wilayah-wilayah luar Jawa sebetulnya juga merasakan suasana sebagaimana kaum migran di negara-negara Barat. Politik asimilasi tidak mampu mengobati “kerinduan” kaum migran untuk tetap membangun solidaritas kultural sebagai medium kebersamaan mereka. Apalagi kelompok-kelompok yang lebih lama bermukim di suatu tempat (indigenous people) yang berumur ratusan tahun, tentu memiliki sejumlah keberatan ketika ikatan komunal mereka sirna seketika hanya karena memenuhi hasrat negara yang “kelewat rasional” dalam menggelar proyek pembangunan.
Dalam konteks semacam inilah kita perlu menengok pandangan Bikhu Parekh yang begitu berharga. Ia misalnya mengimajinasikan bahwa individu dan budaya sebetulnya adalah dua sisi mata uang. Menurut Parekh, keberadaan individu sejak awal terikat secara budaya (culturally embedded). Dengan makna lain individu (kehidupan manusia) tumbuh dan hidup di dalam dunia yang terstruktur secara budaya (culturally structured world) dan ia mengorganisasikan kehidupan dan relasi sosialnya berkenaan dengan sistem makna dan sistem kebermaknaan yang diderivasi secara kultural. Kedua, budaya-budaya yang berbeda menunjukkan sistem keberbedaan makna dan visi mengenai kebaikan yang disepakati bersama (good life). Ketiga, setiap budaya pada dasarnya secara internal bersifat plural dan mencerminkan suatu percakapan antara keberbedaan tradisinya dengan pandangan pemikirannya.
Jika pendapat ini diterima, maka keberbedaan kultural mesti diterima, dan dikelola dalam masyarakat yang menghormati pluralitas hukum. Di samping tersedia hukum nasional, di mana masing-masing orang diperlakukan sama dihadapan hukum, kelompok-kelompok yang sudah memiliki hukum adat (hukum setempat) juga perlu diberi tempat. Pendapat ini boleh jadi terkesan romatis, karena memperlakukan secara khusus orang-orang yang selama ini memiliki budaya dan adat yang sudah lama usianya – jauh lebih lama dari usia nation state Indonesia itu sendiri. Namun sebetulnya yang hendak dicapai dari pendapat Bikhu Parekh itu adalah perlunya menempatkan “keberbedaan” dalam status identitas bersama sebagai keniscayaan dalam membangun demokrasi. Bila demokrasi dalam gelombang pertama hanya menempatkan penghargaan kepada keberbedaan individu-individu, maka dalam demokrasi dengan nafas baru ini adalah keberbedaan dalam hal identitas kolektif.
Politik multikultural sebagaimana digemakan sampai kini di negara Eropa adalah suatu upaya untuk mencapai itu. Prosesnya memang tidak mudah.Disamping komunalisme bukan barang netral yang harus kita bela, watak-watak komunal dapat menjadi energi negatif bila tidak segera direvitalisasi dengan gagasan-gagasan HAM. Sebaliknya, gagasan-gagasan HAM dan ide pluralisme itu sendiri perlu direinterpretasi terutama dalam hal kesesuaiannya dengan fenomena munculnya gelombang identitas: agama, ras, budaya, transeksual yang kini muncul mewarnai wajah dunia di era millenium. Di Indonesia sendiri kita mendapatkan kenyataan adanya keragaman budaya dan identitas itu: Cikoang, Komunitas Bissue, Kajang, dari Sulawesi Selatan, Suku Wana di Sulawesi Tengah, Dayak Meratus, Masyarakat Parmalim di SUmmatera Utara, dan masih banya lagi yang tidak dapat ditulis satu per satu di sini. Mereka semua sambil membela ikatan komunalitasnya masing-masing tentu masih harus memperjuangkan posisinya di tengah konteks yang semakin berubah.
Oleh karena itu, jika kita bisa menerima ide multikultural untuk Indonesia, setidaknya pertama-tama kita perlu menghindari dua jebakan ekstremisme sekaligus, yakni dari ekstremisme liberal maupun (apalagi) ekstremisme komunal.
C. Strategi Politik Jangka Panjang
Apakah perbedaan antara taktik dan sebuah strategi? Menurut jenderal Prusia yang terkenal, Carl von Clausewitz: “Taktik adalah seni menggunakan ’kekuatan bersenjata’ dalam pertemuan. Strategi merupakan seni menggunakan pertempuran untuk memenangkan peperangan dan bertujuan mencapai perdamaian.“Rencana jangka panjang tersebut kita sebut strategi.Dalam Strategi ini, tujuan-tujuan jangka pendek dicapai melalui taktik.Namun, tanpa strategi, taktik tidak ada gunanya.
Jalan yang harus ditempuh : Dari mana kita mulai?
a. Kita Ummat Islam dewasa ini memiliki tiga hal yang penting :
1. Islam sebagai ajaran yang benar, eksternal dan universal.
2. Ummat Islam yang secara kuantitatif cukup banyak, yaitu 907 Juta orang.
3. Tanah air Ummat Islam yang subur dan kaya yang dari Maroko sampai Merauke.
b. Strategi Musuh-musuh Islam dimanapun adalah sebagai berikut :
1. Merusak Islam dengan cara memberikan gambaran yang salah mengenai Islam.
2. Memisahkan Ummat Islam dari ajarannya yang hakiki, yaitu al-Islam.
3. Memisahkan Ummat Islam dari pimpinannya yang sejati, yaitu para pemimpin pilihan, tumpuhan harapan dan kepercayaan mereka sendiri.
4. Memecah golongan Ummat Islam tertentu dari dalam.
c. Strategi dasar Ummat Islam seharusnya adalah memadukan atau menerapkan Islam sebagai Ide kepada kaum Muslimin sebagai realitas dengan berbagai cara :
1. Jalan pertama yang harus ditempuh adalah mengawal dan menjaga al-Islam yang kita anut agar tetap terpelihara kemurniannya dari dan oleh tangan-tangan kotor yang hendak merusak dan mengotorinya.
2. Jalan yang kedua :
a. Mendekatkan dan merekatkan Ummat Islam kepada ajaran Islam yang hakiki, yang bersih dari bid’ah, khurafat, takhayul dan penyajian yang salah.
b. Memadukan Ummat Islam dengan pemimpin mereka yang sejati, yaitu pemimpin yang setia kepada Islam dan kaum Muslimin.
c. Memadukan golongan Ummat Islam yang satu dengan golongan Ummat Islam yang lainnya.
d. Mencegah adayan bibit-bibit atau usaha-usaha pemecah Ummat Islam dari dalam.
3. Jalan ketiga adalah mengadakan pembagian kerja menurut bidangnya masing-masing atas dasar hal-hal berikut :
a. Titik tolak asasi yang sama, yaitu Al-Ikhlas.
b. Dasar landasan asasi yang sama, yaitu Al-Islam.
c. Pedoman asasi yang sama, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
d. Tujuan asasi yang sama, yaitu hasanah didunia dan akhirat, serta rahmat bagi segenap alam serta mardhatillah.
e. Tugas asasi yang sama, yaitu beribadah dan mengabdi kepada Allah Swt, dalam arti yang seluas-luasnya.
f. Alat asasi yang sama, yaitu jiwa raga dan segala yang dimiliki untuk melaksanakan tugas menuju tujuan.
4. Jalan keempat adalah membina satu Ummat yang memiliki ciri-ciri berikut :
a. Terikat jiwa kepada iman dalam arti yang luas sebagai sumber pandangan hidup.
b. Terikat jiwa kepada amal shaleh sebagai program asasi dengan perincian :
- Taushiyat bil-Haqqi : Saling berwasiat dalam menegakan kebenaran, yaitu menuntun, mencari, menemukan kebenaran, serta menyebarkan dan mengajarkan kebenaran itu.
- Taushiyat bis-Shabri : Saling berwasiat dalam rangka menumbuhkan dan mengukuhkan kesabaran, yaitu ketabahan lahir batin menanggung resiko apapun sebagai konsekuensi penegak kebenaran (Al-Ashr : 1-3).
5. Jalan kelima berusaha untuk memberikan formulasi dan interpretasi tentang Islam dengan “Bahasa” yang dapat dipahami dan dihayati oleh Ummat manusia yang ada pada ruang waktu kini, yaitu abad ilmu pengetahuan dan teknologi, juga berusaha untuk menerjemahkan Islam kedalam segala aspek kehidupan manusia sehari-hari, sehingga terang dan jelaslah bahwa untuk kebahagiaan, keselamatan, kesejahteraan dan perdamaian lahir dan batin tiada alternatif lain bagi dunia kecuali al-Islam.
6. Jalan keenam adalah menyakini dan meyakinkan bahwa bangkitnya kembali dunia Islam merupakan suatu keharusan sejarah dan hal itu hanyalah akibat logis dan dialektis dari bersatunya ide dengan realitas menjadi realitas yang ideal, yaitu bersatunya Islam dengan kaum Muslimin yang melahirkan Ummat Islam yang Islami yang diridhai Allah Swt, dan menjadi rahmat bagi segenap Ummat manusia dan alam semesta.
7. Jalan ketujuh adalah menyadari dan menyadarkan orang lain, bahwa Ummat Islam Indonesia sebagaimana Ummat Islam di negeri-negeri lainnya segera setelah menemukan kembali diri pribadi mereka, insya Allah dapat memberikan sumbangan yang sangat besar untuk turut berikhtiar mempercepat kebangkitan dunia Islam.
Menuju Persatuan Ummat Islam
Para pemimpin terdahulu dalam zaman modern telah menyadari betapa pentingnya persatuan dan kesatuan kaum muslimin, dan mereka menamainya “Liga Islam”. Itulah yang diserukan oleh Muhammad bin ‘Abdulwahhab. Kemudian diserukan lagi oleh Jamaluddin Al-Afghaniy dan muridnya, Syeikh Muhammad ‘Abduh dan Sayid ‘Abdurrahman ‘Al-Kawakibiy.
Jamaluddin Al-Afghaniy berpendapat, bahwa pembentukan Liga Islam harus didahului dengan gerakan perlawanan rakyat-rakyat Islam terhadap kekuasaan kolonialisme, sedangkan Syeikh Muhammad ‘Abduh berpendapat bahwa pembentukan Liga Islam harus melalui pendidikan dan pengajaran lebih dulu. Sementara itu Al-Kawakibiy lebi manyak menitip beratkan perlawanan terhadap para penguasa boneka kolonial sebelum meningkat kepada perlawanan terhadap kolonialisme secara keseluruhan.
Orang Barat sangat cemas menghadapi seruan-seruan tentang Liga Islam karena mereka tahu bahwa Liga Islam akan menjadi kekuatan tangguh menghadapi penindasan kolonial. Mereka bertekad hendak melawan Liga Islam dan berusaha keras kaum terpelajar Muslimin jangan sampai turut serta dalam gerakan tersebut.
D. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Kata “identitas” dan makna-nya di dalam konteks politik, sesungguhnya merupakan suatu fenomena yang cukup baru di dalam wacana intelektual kontemporer. Identitas seseorang ‘meng-konstruksi-kan suatu proses dialogis yang menandai batasan-batasan apa saja mengenai diri-nya dan apa saja yang membuatnya sama atau berbeda dengan orang lain’ (Stuart Hall, 1992). Jadi, menurut Stuart Hall, identitas seseorang tidak dapat dilepaskan dari ‘sense (rasa/kesadaran) terhadap ikatan kolektivitas’. Dari pernyataan tersebut, maka ketika identitas diformulasikan sebagai sesuatu yang membuat seseorang ‘memiliki atau berbagi kesamaan’ dengan orang lain, maka pada saat yang bersamaan juga identitas memformulasikan ‘otherness’ (keberbedaan) atau sesuatu yang diluar persamaan-persamaan tersebut. Sehingga karakteristik identitas bukan hanya dibentuk oleh ikatan kolektif, melainkan juga oleh kategori-kategori pembeda (categories of difference). Oleh karena itu, menurut Judith Butler (1992), konstruksi mengenai identitas melibatkan seluruh peluang-peluang dari berbagai kategori pembedaan kolektif yang saling berkompetisi dan, karena itu, kategori-kategori identitas tidaklah bersifat deskriptif, melainkan bersifat normatif.
Politik Identitas sangat berbahaya karena ujungnya adalah fasisme sempit.
Dunia Islam dimana-mana sudah dipenuhi sama contoh-contoh kelakuan
fasis ala Islam begini. Sementara buat fasisme sukuis sendiri kita
juga bisa melihat kelakuannya negara Orba yang bisa membuat Suharto
berlagak kayak Raja Jawa. Fasisme dapat menghambat proses multikulturalisme karena bersifat Ultra Nasionalis, Rasis, Militeris dan Imperialis. Jadi politik identitas merupakan suatu keniscayaan multikultural.
Dunia Islam dimana-mana sudah dipenuhi sama contoh-contoh kelakuan
fasis ala Islam begini. Sementara buat fasisme sukuis sendiri kita
juga bisa melihat kelakuannya negara Orba yang bisa membuat Suharto
berlagak kayak Raja Jawa. Fasisme dapat menghambat proses multikulturalisme karena bersifat Ultra Nasionalis, Rasis, Militeris dan Imperialis. Jadi politik identitas merupakan suatu keniscayaan multikultural.
Islam secara kuantitatif cukup banyak yaitu 907 juta orang kalau dijadikan pada politik identitas maka strategi yang harus dilakukan adalah memadukan atau menerapkan Islam sebagai Ide kepada kaum Muslimin sebagai realitas dengan berbagai cara dan membentuk persatuan dan kasatuan kaum muslimun yang dinamakan “Liga Islam”.
E. Saran
Islam merupakan prinsip kemerdekaan berfikir. Betapa banyak Islam mengancam orang-orang Arab yang tidak menggunakan akal, tidak mau mengerti dan tidak mau berfikir. Tiap orang yang berfikir tidak berat sebelah tentu mengakui bahwa setelah para penyembah berhala memeluk Islam keadaan mereka jauh lebih baik dari pada sebelumnya. Jiwa mereka meningkat, akhlak mereka menjadi baik dan dengan Islam mereka merasa memperoleh kemuliaan.
Orang-orang berjuang untuk perbaikan merasa pusing memikirkan kemunduran kaum muslimin dalam zaman kita dewasa ini. Saya kira sekarang sudah jelas sebab-sebabnya yang membuat kerusakan, kemerosotan dan keparahan pembangunan kaum muslimin. Apabila kita hendak memperbaikinya, maka sebagaimana dikatakan oleh sebuah hadits, bahwa kerusakan kaum muslimin pada akhir zaman hanya dapat diperbaiki dengan apa yang membuat mereka baik pada awal mulanya.
Tulisan ini saya akhiri dengan ucapan Syauqiy Bek dalam syairnya :
Ya Tuhan, rakyat telah bangkit dari kematiannya
Bangsa-bangsa pun bangun dari kelelap tidurnya
Kebahagiaan, kemalangan dan kekuasaan…
Engkaulah Pemilik kesemuanya
Nikmat, hukuman dan duka derita…
Engkaulah Pengatur perputarannya
Takdirmu atas kami adalah hikmah semata
Dengan rahmat-Mu selamatkanlah kami dari bala bencana
Kasihanilah kami demi Rasul penuntun alam semesta
Janganlah ummatnya Kautambah kelemahannya
Dan jangan pula Kaubiarkan hidup merana
Ya Tuhan, kebaikan telah Kaulimpahkan di awal mula
Kepada kaum muslimin di saat kelahirannya
Sempurnakanlah dengan keutamaan yang sama
Karunia kebaikan di akhir zamannya.
Daftar Pustaka
Anshari Saifuddin Endang. Wawasan Islam : Paradigma dan sistem Islam. Gema Insani
Press 2004.
Amin Ahmad. Islam dari masa ke masa. PT Remaja Rosdakarya. Bandung 1993
Santoso Thomas. Potret Kekerasan Politik-Agama dalam Era Reformasi.
Lokakarya Flienders-FISIPOL UGM, 2000.
Theda Scokpol, Negara dan Revolusi Sosial, Penerbit Erlangga, 1991.
Arie Setyaningrum. Memetakan Lokasi bagi ‘Politik Identitas’ dalam Wacana Politik
Diakses pada tanggal 12 Februari 2011 pukul 14.00
Artikel. Politik islam indonesia dimasa-masa yang akan datang prospek dan
tantangan-tantangannya http://alislamu.com/artikel/11-politik-islam-indonesia-di-masa-masa-yang-akan-datang-prospek-dan-tantangan-tantangannya.html
Diakses pada tanggal 12 Februari 2011 pukul 14.30
keren gan blognya, Keep update dan sukses selalu
BalasHapusbagus artikelnya gan.....
BalasHapusinformasinya sangat bermanfaat, thanks gan :)
BalasHapusThx gan infonya
BalasHapusMAKASI GAN
BalasHapusMohon maaf bosku .. kami sedang tidak mengadakan promo Bonus tersebut
BalasHapusPromo Menarik dari Dewapokerqq :
* Bonus Turnover Up To 0.5% ( Dibagikan setiap hari senin jam 2 Siang WIB)
* Bonus Referral 10% + 10% ( Dibagikan setiap hari senin jam 3 Siang WIB)
Informasi yang sangat bagus dan berguna. Ditunggu untuk informasi berikutnya. Thanks gan
BalasHapusSilahkan berkunjung di intanqq
Informasi yang sangat bagus dan bermanfaat gan. ditunggu informasi nya selanjutnya gan:) terima kasih ^^
BalasHapusSelamat Datang di Intanqq
Intanqq menyediakan 7 permainan dalam 1 ID
Berikut permainannya :
- BandarQ
- AduQ
- Bandar poker
- Bandar sakong
- Domino
- Poker
- Capsa
Berikut keuntungan bermain di Agent Poker Intanqq :
- Bonus Turnover 0.3% dibagikan setiap hari
- Bonus Extra turnover setiap minggu
- Bonus referal sampai 20% dan berlaku seumur hidup
- Proses depo dan wd HANYA 1 menit
- Minimal depo dan wd HANYA Rp.15.000
- Win Rate 98%
Ayo tunggu apalagi? segera bergabung bersama kami dan kunjungi website kami bosku ^^. menangkan hadiah nya bosku ^^
Info yang sangat baik dan bermanfaat gan. ditunggu informasi nya selanjutnya gan:) terima kasih ^^
BalasHapusSekedar Informasi Buat Guys :)
Buat Para Pecinta Poker Sejati yang ingin mencari web yang terpercaya di Indonesia.
Silahkan kunjungi web Intanqq,com
Disini saya sudah mencoba bermain dan hasilnya kekalahan saya di agent lain semua nya terbayarkan di agent Intanqq,com
Disini semua nya transparan Guys , bonus ,proses depo dan wd serba cepat , dan pelayanannya membuat saya jatuh cinta , sangat ramah dan sopan Guys!
No Tipu Guyss !!! Silahkan search Intanqq,com karena saya sudah mencoba sendiri.
Segera daftar guys, saya yakin keberuntungan anda juga berada di Intanqq,com
Dijamin 100% player vs play guys