Mesjid Megah, Umat Melarat *

Mayoritas rakyat Indonesia adalah umat Islam, terdiri dari segala tingkatan. Mulai dari yang paling taat sampai yang paling fasiq, mulai dari golongan yang berada sampai yang tak punya, mulai dari majikan sampai buruh, mulai dari jenderal sampai kopral. Pokoknya meliputi segala lapisan masyarakat. Mereka ada dimana-mana, “menjarah” seluruh kepulauan Nusantara.

Hampir tidak kita temui suatu desa atau negeri apalagi kota yang sepi dari umat Islam. Umat Islam tersebar luas bagaikan cahaya yang menerobos setiap celah.

Umat Islam wajib Sholat lima waktu sehari semalam, tidak boleh tidak. Oleh karena itu, agar terlaksana dengan baik, diperlukan sarana untuk menunjang kekhusukan beribadah yang salah satunya mesjid/ mushalla. Karena mereka ada dimana-mana maka sulit mencari negeri di Nusantara ini yang tidak ada mesjidnya. Dimana-mana ada mesjid, dikota besar atau kecil wajib berat ada mesjid, di kampung-kampung atau kelurahan “haram” kalau tidak ada mesjid. Bukan hanya itu, diterminal, stasiun, air-port, restoran, di pelabuhan, di kapal, di hotel, di kantor-kantor pemerintah atau swasta, ditempat-tempat pariwisata pasti kita temukan tempat ibadah.
Dengan adanya mesjid karena tuntutan oleh kewajiban melaksanakan shalat lima waktu sehari semalam yang tidak bisa ditawar, sebagai sarana untuk melapor kepada “Direktur Utama” umat Islam, terhiasilah negeri oleh semaraknya kumandang azan dan seharusnya dari sana memancar sinar kedamaian, ketentraman, kerukunan dan manfaat yang besar bagi masyarakat yang tinggal disekitarnya.

Mengagumkan memang, itulah mungkin salah satu manfaat sunat muakkadah melaksanakan shalat berjamaah diawal waktu. Zaman Rasulullah SAW mesjid sangat besar perannya, merupakan pusat dan pedoman dari segi aktifitas umat Islam. Dari mesjidlah beliau mengatur masyarakat dan di mesjid pula ilmu pengetahuan dibahas. Kebiasaan ini dilanjutkan oleh para sahabat dan ulama-ulama sesudah beliau wafat.

Sebagai tempat suci maka mesjid harus bersih dan menampilkan keindahan dan kewibawaan. Sangat berlawanan dengan sifat Tuhan, yang cinta pada kebersihan dan keindahan, apabila mesjid kotor tak terurus, yang sekaligus menggambarkan bahwa ghirah dalam beragama mulai pudar.

Alhamdulilla, penulis bersyukur dan terharu bahkan bangga bila melihat mesjid-mesjid yang indah dan megah, yang tersebar di seluruh kepulauan Nusantara. Berpuluh-puluh, beratus juta bahkan bermilyaran rupiah telah diserap oleh mesjid untuk membangun dan merawatnya. Semoga aman dan sentausalah negeri ini karena pancaran Nur Ilahi melalui mesjid. Patut kita berbangga dengan “prestasi” itu.

Tapi, jangan berbangga dulu sebab sangat ironis apabila kita melihat kepada sisi lain yaitu umat Muslimin yang merupakan mayoritas dari penduduk Indonesia. Sebagian besar dari mereka miskin bahkan ada yang melarat, menyedihkan memang.

Untuk itu penulis mengajak para pembaca sekalian untuk menolong mereka agar tidak terjerumus ke dalam lembah kekafiran; kemiskinan menurut Nabi SAW lebih dekat kepada kekafiran. Disamping itu, kita di “cap” sebagai orang tidak beriman oleh Rasulullah apabila kita membiarkan tetangga kita kelaparan. Lewat tulisan ini penulis mengusulkan kepada pembaca yang dermawan untuk mengumpulkan dana khusus membantu orang fakir miskin. Banyak jalan untuk itu. Asal ada kemauan baik tidak akan sulit melaksanakannya, baik perorangan maupun berkelompok.

Seandainya disatu mesjid setiap ibadah Jum’atan menampung jamaah sebanyak seribu orang dan tiap orangnya menafkahkan uang milik Allah Rp 1.000,- maka bisa terkumpul uang sebanyak 1 juta rupiah, sebulan bisa terkumpul 4 juta rupiah (rata-rata 1 bulan 4 kali jum’atan), untuk satu mesjid. Jika jamaah seluruh mesjid di Indonesia ini melakukan hal yang demikian maka berapa milyar dana setiap bulannya terkumpul untuk menolong fakir miskin. Apalagi banyak mesjid yang berkapasitas lebih dari seribu orang jamaah, ditambah sumbangan-sumbangan dalam bentuk lain. Perhitungan ini sedikit ekstrim, tapi sebagai gambaran saya kira tidak ada jeleknya.

Kalau hal ini bisa terlaksana maka saya yakin, bukan sekedar yakin, tetapi Haqqul yakin bahwa tidak akan ada lagi yang meminta-minta, tidak ada lagi yang terjerat hutang dan tidak akan ada umat Islam yang sudi menukar imannya dengan sebungkus supermi dan sekilo beras. Bahkan disisi lain kita bisa lebih mengkonsentrasikan pikiran untuk mengembangkan hal-hal yang lebih bermanfaat, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi misalnya. Mengapa? Karena kesejahteraan mereka, fakir miskin, diperhatikan oleh “Dermawan-dermawan” muslim yang mempunyai sifat penuh kasih sayang terhadap sesama, sebagai bukti keimanannya terhadap Tuhan, Allah SWT, Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Saya optimis, kecuali kalau kita sudah sangat kikir.

*
LA FAISAL KAIMUDIN
Ketua Umum
Pelajar Islam Indonesia (PII) Maluku 2008-2010
Ambon 1 Januari 2010